Jadi Ibu Itu Ternyata...

Perjuangan melahirkan ternyata bukan akhir dari kesakitan dan penderitaan menjadi ibu. Saya berkata jujur saja ya.. Wanita-wanita, kalau kau ingin jadi ibu, cari tahu penderitaannya dulu supaya waktu kau menghadapinya, kau sudah siap dan menjadi kuat ( selain mendapat kekuatan dari Tuhan tentunya ).


Keputusan saya untuk melahirkan normal, jauh sudah saya ambil waktu saya masih kuliah. Masih sering bertengkar dengan Papa Gi, belum pacaran apalagi menikah dan hamil. Melahirkan normal adalah impian saya sejak masih belum memikirkan tentang siapa PH saya. Gara-gara nonton film dokumenter tentang perkembangan manusia dan di situ pertama kalinya saya melihat proses kelahiran yang sebenarnya. Entah kenapa saya tidak memikirkan sakitnya. Dalam hati saya hanya berkata, saya pasti akan melahirkan anak saya dengan cara normal. Puji Tuhan mimpi itu Tuhan nyatakan.

Mimpi saya yang lain sebagai ibu, ingin memberikan ASI eksklusif untuk anak saya. Kalau yang ini gara-gara baca blog ci Lia atau baca apa gitu, lupa. Nah, untuk mimpi saya yang ini saya agak pesimis karena Mama dan kakak saya cerita kalau ASI mereka kurang ok dan harus dibantu sufor. Awalnya saya masih bersikeras akan memberi ASI eksklusif walaupun sudah dibujuk orang tua dan disarankan ayah mertua. Bukan berarti saya anti sufor, tapi hati ini (cieeehhhh) benar-benar bersikeras meyakinkan ASI eksklusif buat anak saya.

Dalam perjalanannya, sebulan ini, ternyata tidak semulus yang saya bayangkan. ASI saya tidak terlalu deras keluar. Harus dipancing Gi dulu, baru keluar. Awalnya saya pikir tidak apa sedikit untuk awalnya. Literatur katakan lambung bayi yang baru lahir hanya sebesar biji kelereng.

Saya mulai tertekan waktu menyusui ternyata sakit. Lecet! Bahkan sampai luka dan berdarah. Saya sempat menghentikan menyusui di satu 'pabrik' karena sakit. Tapi, ternyata keputusan saya itu salah besar. 'Pabrik' yang saya biarkan membengkak karena ASI terbendung. Belum lagi karena luka, ASI jadi tersumbat karena salurannya meradang dan infeksi.

Dalam hati bertanya pada Tuhan, kok jadi ibu susah banget sih?? Saya orang yang selalu berusaha melihat sesuatu yang baik dalam situasi yang buruk, tapi kali itu saya tidak bisa melakukannya. Saya frustasi, marah, dan tidak terima.

Setiap kali ada yang membicarakan ASI saya yang sedikit dan menceritakan ASI mereka berlimpah ruah (saya merasa dianggap aneh), saya marah, tersinggung, dan sedih. Rasanya mau bilang, " Ya sudah, kamu saja yang susui!"

Untungnya Roh Kudus kekang lidah saya karena salah satu yang membuat saya kesal adalah emak saya sendiri. Durhaka kalau saya bicara begitu.

Bagaimana tidak frustasi? Gi menyusu seperti tidak puas. Padahal dia agak kuning. Saya merasa dia kuning karena ASI saya yang sedikit. Rasanya saya gagal menjadi seorang ibu.

Belum lagi kalau malam hari Gi bangun minta menyusu dan seperti tidak puas-puas. Setiap sudah tidur dan ditaruh di ranjangnya, ia bangun dan menangis lagi. Di kanan menyusui, di kiri rasanya sakit berdenyut-denyut, ditambah rasa lelah dan mengantuk yang luar biasa. Kesal dengan situasi, saya hanya bisa memukul lantai dengan keras. Menangis dan rasanya ingin kabur.

Tentu saja saya tidak kabur. Saya terlalu pengecut untuk lari dari tanggung jawab. Saya takut pada rasa bersalah. Akhirnya menangis dan mengeluh pada Tuhan.

Sementara Gi menyusu dengan tenang, emaknya berderai-derai air mata. Saya bertanya pada Tuhan, apa saya sebenarnya tidak siap jadi ibu? Apa saya tidak cocok jadi ibu? Sepertinya saya ini ibu yang jahat karena tidak bisa mengurus anak dengan hati yang gembira dan lebih banyak meratapi diri. Kenapa berat sekali, Tuhan???

Lalu saya tidak mendapat janji kalau Tuhan akan menjadikan semuanya mudah. Tuhan hanya janjikan kekuatan dan hikmat. Tuhan ingatkan saya tentang karakter yang diubahkan semakin serupa Kristus, tentang betapa Tuhan menyukai proses, tentang iman, pengharapan, kasih, tentang kalau saya tidak perlu menjadi seperti ibu yang lain - jadilah ibu yang sesuai jati diri saya, tentang bahwa Gi bukan sekedar hadiah, tapi juga kepercayaan yang Tuhan berikan pada saya dan Aki. Dan Tuhan ingatkan untuk melepaskan pengampunan untuk setiap orang yang membuat saya marah dan tersinggung, supaya saya tidak menambah beban hidup.

Piuuhhh, setelah malam itu segalanya masih berat. Saya masih mudah tersinggung dan tertekan dengan penyesuaian yang harus saya hadapi. Tapi, perlahan saya sadari, Tuhan beri saya kekuatan. Saya mulai terbiasa. Tidur dengan posisi duduk tidak memberatkan saya lagi, saya menjadi lebih pintar mencuri waktu supaya bisa ngobrol dengan Aki, menggunakan waktu yang sedikit untuk mengurus rumah dan mengurus kebutuhan Aki (walau tidak semuanya) tanpa merasa kurang tidur dan kelelahan. Tuhan menepati janji-Nya. Ia berikan saya kekuatan.

Sekarang, saya masih belum bisa memberikan ASI dari kedua 'pabrik'. Bahkan menambah sufor supaya berat Gi naik. Sedih dan sesak rasanya waktu tahu berat Gi tidak naik sama sekali. Saya maunya dia ASI eksklusif tanpa tambahan apa pun! Tapi, kasih harus mengalahkan idealisme. Saya tidak mungkin mengorbankan kesehatan anak saya demi mimpi dan idealisme yang saya pegang.

Sudah dua hari ini Gi minum ASI ditambah sufor. Dia menjadi lebih tenang dan tidur nyenyak. Sementara menunggu 'pabrik' kiri sembuh, tak apalah Gi mendapat tambahan sufor. Kalau sudah sembuh, semoga saya benar-benar bisa memberikan ASI eksklusif.

Ini masalah yang lain, Gi. Mama ga rela kasih kamu sufor, tapi demi kesehatan kamu, Mama harus taruh idealisme Mama. Semoga beratmu naik ya, Nak. Kalau kemarin Tuhan tolong kita, hari ini pasti Dia tolong kita juga.

Mama sayang Gi. Papa sayang Gi. Tuhan Yesus sayang Gi. *ciumpeluk

0 Comments