Pelajaran Pra Nikah : Pengetahuan Bukan Buat Nuntut

Di kelas kecil BPN terakhir, salah satu teman sekelas bertanya pada kakak pembina kami, bagaimana kalau bahasa kasih pasangan kita berbeda. Secara dia sendiri mengalami sendiri, dia yang memiliki bahasa kasih quality time kebutuhannya jadi tidak terpenuhi dengan bahasa kasih pasangannya yang service.

Kakak pembina kami balik bertanya, “ Nah, menurut kamu bagaimana?”

Waktu itu Aki langsung sambungin.. Aki waktu itu ngomongnya bukankah sebelum kita berpasangan sudah happy?? Seharusnya pas kita berpasangan bukan lagi cari happy, tapi mau kasih happy-nya kita ke pasangan kita, supaya dia merasakannya juga.

Saya menerjemahkan pada yang lain , sebagai pasangan bukan lagi meminta “ Kasihi gua! Kasihi gua!” alias nyedot kasih, tapi justru memberi dan memberi.

Ka Stevan langsung bilang, “ Ya udah, cepetan kalian merit.” Akakakka… (happy dapet peneguhan).

Tapi dari omongan Aki dan omongan saya sendiri itu, saya jadi engeh (walau kami bener-bener udah praktek, saya ga menyadari hal ini)…




Kecenderungan kita saat kita tahu sesuatu, misalnya bahasa kasih, kita jadi menuntut orang lain buat mengerti kita. Misalnya neh, bahasa kasih saya service jadi saya menuntut Aki untuk mengasihi saya dengan cara banyak bantuin saya. Atau sebaliknya, saya tahu bahasa kasih Aki itu lewat kata-kata, tapi saya nuntut Aki ngerti kalau bahasa kasih saya service. Jadi, wajar dooonggg kalau saya jarang menunjukkan kasih saya lewat kata-kata. Aki ga boleh protes kalau saya ga tunjukin kasih saya lewat kata-kata karena itu bukan bahasa kasih saya.

Kebayang ga kalau cara berpikir kita seperti itu?? Kekacauan. Kepentingan diri sendiri dan ujungnya perseteruan.

Ini sih jadi salah satu kelemahan kita manusia ya, kadang-kadang saat kita tes kepribadian atau apa, kita memakai pengetahuan itu hanya untuk mengerti diri kita sendiri bukan orang.

“Gua orangnya melankolis, jadi wajar kalau gua bawel dan suka negatif thinking.”

“ Gua orang sanguin, jadi wajarlah gua banyak ngomong dan suka ga tegas.”

Atau parahnya kita pakai untuk menghakimi orang lain (one of my habit…*ngaku dosa)

“ Ah, dia mah orang dominan. Emang ga punya perasaan. Bossy dan suka nyuruh-nyuruh.”

“ Ih, dia tuh ga berenti ngomong ya. Dasar orang sanguin. Tukang ngomong ga pakai mikir.”



Bukan hal yang mudah untuk berhenti menghakimi atau labeling diri kita sendiri dengan pengetahuan yang kita tahu. Tapi yang paling penting sih ini…

Ini yang Tuhan selalu ingetin..

Apa pun yang saya ketahui. Pengetahuan apa pun yang saya miliki bukan untuk dijadikan senjata atau tameng, tapi untuk membangun orang lain.

Kalau kita tahu tentang bahasa kasih, ya kita pakai pengetahuan itu untuk jadi perpanjangan tangan Tuhan buat mengasihi orang lain. Jangan berhenti sampai di bahasa kasih kita saja. Tapi belajar mengasihi dengan cara-cara lain, yang pasti Tuhan menggunakan semuanya. Gunakan bahasa kasih yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda.

Kalau tahu temperamen , ya kita pakai pengetahuan itu untuk berempati. Berespon dengan cara yang berbeda pada orang yang berbeda. Sama orang dominan jangan ikutan kolerik. Sama orang melankolik berikan pengetahuan dan pengertian. Sama orang sanguin curi hatinya dengan banyak berespon pada kata-katanya. Sama orang pleghmatis, berikan dia kenyamanan … (bukan berarti manjain yaa).

Yang pasti namanya hubungan pra nikah (apalagi nikah) bukan tentang saya atau kamu, tapi tentang saya, Bapa, kamu yang disatukan dalam kata KITA.

Terus kita kudu mendem keinginan kita dong???

Tentu saja tidak… Tetap harus ngomong apa yang jadi mau kita, kalau ga diomongin ya kan jadi ga tahu satu sama lain. Kita sendiri juga kudu peka sama pasangan, kalau dia keliatan ga kayak biasanya, tanya ada apa. Kadang emang ada hal-hal yang ga bisa diceritain langsung sama pasangan, mungkin karena masih emosi. Pokoknya intinya kemaren tuh jadi belajar tentang ayat ini,

karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Filipi 2: 2-8

Kesuksesan hubungan apa pun itu cuma satu hati dan pikiran yang kita taruh di dalam Kristus. Mikir kayak Kristus, merasa kayak Kristus.. dan semuanya pastiii deh jadi lebih mudah. Jadi lebih gampang nerima orang lain, jadi lebih gampang ngerti orang lain, jadi lebih gampang mendahulukan orang lain.

0 Comments