Bola Mukjizat Retak 6




Bulan lalu, kalau tidak salah tanggal 25 Mei, saya pulang ke Cilegon untuk mengembalikan marga saya. Waktu kecil saya pernah diangkat anak oleh Tulang saya. Nah, karena sebentar lagi saya akan menikah, saya harus dikembalikan lagi kepada orang tua saya. Yah, kira-kira adatnya seperti itu. Seperti formalitas, tapi sebenernya di situlah cara menghormati Tulang kami yang sudah bersedia mengangkat anak saya yang suka sakit-sakitan.

Di hari itu, Aki ikut acara itu. Awalnya sempet kuatir dengan reaksi keluarga. Hahhaha.. Tapi ternyata kekuatiran saya tidak beralasan. Tulang saya yang dulu menentang saya merit dengan yang bukan orang Batak, akhirnya bisa menerima keputusan saya. Keluarga yang lain juga sudah bisa mengerti dan menerima.

Lebih senang lagi waktu Aki duduk di tengah-tengah keluarga, walaupun hanya sebagai tamu. Di sebelah Aki, Mama ngajarin pelan-pelan sama Aki kenapa acaranya begini atau begitu. Seperti waktu Aki mau bantu-bantu bagikan makanan, Mama langsung larang karena ga boleh. Tamu (bukan marga yang punya hajatan) tidak boleh bantu-bantu, malah dianggap tidak sopan. Kalau Aki sudah nikah dengan saya dan sudah dapat marga, baru bisa bantu-bantu seperti kakak ipar saya.

Pulang dari acara, kami langsung pergi lagi ke rumah Bou yang akan memberi marga buat Aki. Di situ ada Abang yang sudah banyak belajar soal adat. Saya dan Aki diajarkan kenapa adat batak begini kenapa adat batak begitu. Apa yang harus kami lakukan kalau Aki sudah dapat marga. Tentu saja beban moral yang lebih.

Sebenarnya beban moral itu sendiri bukan hanya ditanggung Aki juga, tapi oleh Bou dan keluarga. Kalau Bou dan keluarga tidak bisa mengajarkan Aki tentang adat, mereka harus mempertanggung jawabkannya pada keluarga besar lainnya dan itu bukan hal yang mudah. Mereka bisa jadi bahan omongan.

Saya sendiri agak kuatir karena seperti menaruh beban lagi di bahu Aki, tapi akhirnya cuma bisa inget komitmen masing-masing buat saling percaya. Percaya kalau bersama Babe, Aki bisa tanggung beban itu dan bahkan mungkin tidak akan menjadikan itu beban. Saya sendiri cuma bisa minta Babe untuk terus ingatkan saya, bahwa saya penolong.. Penolong yang siap mendukung, mengingatkan, dan bukan merongrong.

Yang pasti makin sayang sama Aki karena mau dengan rendah hati belajar tentang adat, cape-cape dan nunggu, duduk2 lama. Makin mengasihi keluarga besar juga karena dengan lemah lembut mereka mengajarkan saya dan Aki. Tidak ada tekanan mental karena mereka mengajarkan kami sebagai orang dewasa. Orang dewasa yang sudah mengerti dan bisa mempertimbangkan setiap tindakan.

Sampai hari ini masih ada banyak hal-hal yang saya kuatirkan. Tempat tinggal, pekerjaan baru, honeymoon dimana (katanya yang ini kudu juga..Hahhaha..) Banyaaakkk yang saya takutkan tidak bisa saya lewati, tapi waktu nulis apa yang udah Tuhan lakukan.. Kok, ketakutan-ketakutan saya jadi ga beralasan. Tuhan punya rencana, saya punya rencana, tapi rencana Tuhanlah yang terutama. Saya dan Aki akan membuat rencana ini dan itu, tapi rencana itu hanya bisa kami letakkan di kaki Tuhan. Yang sesuai rencana Tuhan biar semuanya terjadi, yang ga sesuai, biar terlupakan dan tereliminasi.

So... Apa pun yang terjadi, tetaplah percaya sama Tuhan karena cuma itu yang bisa jadi pegangan kita. Kalau masih susah percaya akan rencana Tuhan, percayalah sama hati Tuhan. Hati Tuhan yang mengasihi kita dengan tidak hitung-hitungan. :">

GBU


0 Comments